Bagi sebagian orang yang belum pernah ke Australia atau pernah sesekali mengunjungi Australia sebagai turis, pasti memiliki bayangan betapa enaknya hidup di Australia. Udara yang bersih, lingkungan yang aman, wisata alam yang indah, serta memiliki 4 musim membuat Australia menjadi negara impian bagi banyak orang. Ditambah lagi lokasi Australia yang sangat dekat dengan Indonesia menjadi salah satu daya tarik bagi pelajar Indonesia yang ingin mencari pengalaman belajar di luar negeri. Selain itu pemerintah Australia juga mengizinkan pelajar Internasional untuk bekerja 40 jam setiap 2 minggu dalam masa sekolah dan tidak terbatas pada masa liburan. Pastinya hal ini memberikan kesempatan yang besar bagi pelajar Indonesia yang ingin menimba ilmu sambil mendapatkan pengalaman kerja.
Enak nggak sih hidup sebagai pelajar di Australia?
Kalau menurut saya pribadi sih terus terang enak, karena saat pertama kali datang ke Australia rasanya bebas banget, meski hidup di sana sebenarnya nggak gampang. Dulu waktu tinggal di Indonesia kan masih harus selalu nurut dengan aturan-aturan yang dibuat oleh orang tua. Memang maksud mereka baik tapi terkadang di satu sisi saya merasa tidak dapat mengambil keputusan yang benar-benar sesuai dengan hati saya.
Ketika sampai di Australia, orang tua tahu nya sekolah kita sudah bener dan uang saku yang terbatas harus dicukup-cukupin dan nggak boleh tambah lagi.
Beberapa minggu pertama memang enak, karena ketemu temen-temen baru yang sama-sama nggak ada keluarga disini, jadi di luar jam sekolah kita bisa hang out bareng tanpa ada memaksa untuk segera pulang ?. But things get out of control very quickly, karena terlalu sering main keluar akhirnya duit jajan pun habis sebelum waktunya.
Hal ini memaksa saya untuk memutar otak mencari cara bertahan hidup dengan duit yang terbatas. Dimulai dengan mencari-cari pekerjaan dengan berkeliling ke outlet-outlet retail untuk memberikan resume, dan setiap harinya dengan hati berdebar-debar menanti telepon ajakan interview. Karena duit sudah mulai menipis makanan pun harus dihemat, Indomie menjadi penyelamat ku. Dalam kondisi terdesak, malu pun hilang hingga nebeng pacar untuk minta di traktir.
Beberapa minggu kemudian akhirnya saya mendapat pekerjaan, kerja di restoran fast food di Sydney. Karena restorannya buka 24 jam, kadang saya harus kerja dari jam 10 malam hingga 5 pagi dan harus menerima perlakuan agak semena-mena karena manajernya yang pilih kasih terhadap pekerja wanita. Para pekerja wanita ditaruh di bagian kasir yang kerjaannya lebih ringan, sedangkan saya di taruh di bagian panggangan daging bahkan saat WC perlu di bersihkan, saya pun disuruh untuk membersihkan WC. Saya selalu berpikir seumur-umur nggak pernah ngalamin hal seperti ini. Dari hasil pendapatan kerja, saya mulai belajar mengatur keuangan dengan mulai memilih-milih makanan sehari-hari, lebih berhati-hati dengan pengeluaran yang tidak terlalu penting, bahkan terkadang harus menolak ajakan teman untuk keluar hang out.
Kondisi ini membuat saya menjadi pribadi yang semakin bertanggung jawab atas hidup saya sendiri. Dari yang tadinya mengandalkan orang tua untuk menyiapkan banyak hal termasuk makanan sehari-hari di rumah, kini menjadi pribadi yang selalu memikirkan kebutuhan sendiri and at the same time mempunyai tanggung jawab untuk menyelesaikan pendidikan juga.
Saya sempat merasa hidup merantau itu susah sekali, tetapi setelah menjalaninya saya semakin terbiasa dan merasa menjadi seseorang yang jauh lebih mandiri. Ternyata kebebasan yang saya dapat dengan hidup terpisah dari keluarga mengajarkan saya kemandirian. Semakin besar kebebasan yang kita miliki, semakin besar pula tanggung jawab kita terhadap diri sendiri serta orang-orang yang dekat dengan kita. Pengalaman ini sungguh berarti di dalam hidup saya karena hal yang sama terjadi lagi di chapter kehidupan selanjutnya ketika saya mulai meniti karier.